BAGAIMANA POLA PIKIR SESEORANG BERKEMBANG, BERUBAH, DAN BERTAHAN
TERHADAP BERBAGAI ARUS PEMIKIRAN,
SEJAK DARI MASA KANAK-KANAK HINGGA DEWASA
DAN PERBANDINGANNYA DENGAN PRIBADI RASULULLAH SAW ?
PENDAHULUAN
Berikut adalah tulisan berdasarkan pengamatan sederhana atas masalah mendasar “bagaimana pola pikir berkembang, berubah, dan bertahan; terhadap berbagai arus pemikiran, sejak dari masa kanak-kanak hingga dewasa ?” Tulisan di bawah ini bukanlah tulisan yang berisi sejumlah teori maupun atas hasil penelitian, sebab hal itu tidak mungkin. Selain kebetulan saya hanya sebagai guru, juga saya belum mampu untuk membeli sejumlah buku ilmiah untuk mendukung tulisan saya. Oleh karena itu cukuplah saya sajikan apa yang menjadi pemikiran saya yang mudah-mudahan berguna untuk menambah khazanah pengetahuan yang ada.
PERMASALAHAN
Tulisan berkaitan dengan adanya serangkaian kejadian di Indonesia yang disebabkan oleh sepak terjang orang-orang yang radikal dalam memperjuangkan ideologinya. Orang-orang ini seringkali disebut dengan istilah “teroris”. Sudah banyak ulasan dari para ahli mengenai mereka dan paham yang mereka anut. Namun, tentunya masih banyak yang belum mengerti bahkan percaya, mengapa orang yang oleh orang terdekatnya dan juga lingkungannya, dikenal sebagai orang yang baik, tiba-tiba diberitakan sebagai teroris dan kemudian mati diterjang oleh peluru Densus 88 ?
Tentunya, siapapun takkan mau bila ada anaknya, saudaranya, ataupun temannya itu lebih dikenal umum sebagai teroris. Berbagai penyangkalan dilakukan berikut teori yang diupayakan untuk mendukung pembelaan terhadap keyakinan yang dimiliki. Namun, fakta telah berbicara, bahwa benar adanya ideologi yang dianut secara diam-diam yang menjadikan mereka sebagai tersangka teroris.
Lalu bagaimana semua itu bisa terjadi ? Apakah benar hanya karena katakanlah semacam telah “dicuci otaknya” sehingga mereka bisa menjadi seorang yang militan ? Kebetulan saya pernah mengalami seperti suasana “cuci otak” itu ketika mengikuti suatu Latihan Dasar Kepemimpinan” saat sebagai mahasiswa tahun 1990 dulu. Tetapi Alhamdulillah, saya sampai hari ini tetap seperti saya yang dulu. Jadi belum tentu seseorang yang sudah mengalami suatu doktrinasi terus begitu saja menjadi seorang teroris. Lalu bagaimana bisa seorang yang barangkali kalau dilihat dan dikenal sehari-hari sebagai orang yang “tidak ada apa-apanya” ternyata adalah seorang pemimpin Al Qaidah di Indonesia, seperti Ibrohim ?
Atau jika dilihat dari penampilan seorang Amrozi, yang ternyata dari balik wajah desanya adalah seorang yang mempunyai pikiran ekstrem, radikal, dan militan ? Bagaimana pula dengan orang-orang yang selingkungan dengan mereka, begitu bangga dan nekat memperlihatkan identitas dirinya sebagai satu kelompok dengan para teroris itu, bahkan membela dengan suara lantang ? Apalagi jika mereka sudah mengeluarkan sejumlah dalil pembenaran, yang bagi orang awam akan mudah terpengaruh dan besar kemungkinan dapat menjadi orang-orang radikal pula ?
LATAR SEJARAH
Sejarah gerakan Islam radikal memang dimulai seiring perjuangan melepaskan diri dari penjajahan. Gerakan yang paling fenomenal dan dalam skala besar adalah berupa “perjuangan” kaum Paderi di Sumatera Barat yang dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol (1521-1537). Silang pendapat antara berbagai Sejarawan memaknai gerakan tersebut. Bagi para korban yang juga pribumi tentunya tidak ada kata putih untuk Tuanku Imam Bonjol. Tetapi dalam rangka gerakan perlawanan melepaskan diri dari penjajahan, Tuanku Imam Bonjol dan para pengikutnya mendapat tempat dalam sejarah Indonesia. Gerakan Muhammadiyah yang berdiri 1911 turut pula mewarnai “perlawanan Islam” khususnya dibidang sosial-pendidikan.
Kemudian, dalam masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan, sejarah Indonesia mengenal pemberontakan gerakan Darul Islam ataupun Tentara Islam Indonesia (DI/TII) yang menginginkan berdirinya Negara Islam Indonesia (NII). Dibandingkan dengan daerah basis DI/TII lainnya, di Jawa Barat, Kartosuwiryo merupakan pemimpin yang sanggup bertahan lama bergerilya di hutan-hutan daerah Priangan. Pada masa orde baru pula dikenal adanya gerakan Imran yang berhasil membajak pesawat Garuda.
Selanjutnya seiring dengan berbagai peristiwa internasional yang melibatkan umat Islam di sejumlah negara maupun wilayah, turut pula memberi benih-benih tumbuhnya bibit-bibit Islam radikal di Indonesia. Tidak hanya itu, bahkan peristiwa internasional berperan juga sebagai pupuk. Terlebih karena dalam sejumlah peristiwa internasional, umat Islam sering dalam posisi sebagai kaum yang dipecundangi, kaum yang kalah secara politik, ekonomi, dan teknologi. Kaum yang setelah perang dunia kedua, lepas dari penjajahan, namun tidak tampil sebagai pemenang.
GERAKAN DAKWAH KAMPUS
Maka tahun 80-an di Indonesia, diawali dari sejumlah kampus perguruan tinggi negeri ternama, bergeraklah kelompok-kelompok diskusi Islam. Kelompok-kelompok ini merupakan halaqah yang perlahan berkamuflase sebagai sel-sel gerakan kebangkitan Kelompok Da’wah Kampus.
Identitas Islam pun mulai dikibarkan secara terang-terangan dalam berbagai bentuk yang bersifat frontal. Pemakaian jilbab dikalangan siswi dan mahasiswi, pemakaian istilah Arab untuk menyaingi istilah Inggris, pemberlakuan secara ketat apa yang dinamakan sebagai syari’at Islam dalam berbagai aspek kehidupan.
Saya masih ingat, masa itu tiba-tiba saja ada resepsi yang memisahkan tamu pria dan wanita. Begitu pula para kelompok da’wah kampus yang pria berusaha mempelajari gerakan tarian arab, pengelompokan jama’ah pengajian atas beberapa tingkatan materi yang telah dipelajari namun berlaku dalam pergaulan kehidupan sehari-hari. Misalnya siapa yang telah dibai’at sebagai pemimpin dalam pengajian, maka dalam kehidupan di luar pengajian,
Saya masih ingat, masa itu tiba-tiba saja ada resepsi yang memisahkan tamu pria dan wanita. Begitu pula para kelompok da’wah kampus yang pria berusaha mempelajari gerakan tarian arab, pengelompokan jama’ah pengajian atas beberapa tingkatan materi yang telah dipelajari namun berlaku dalam pergaulan kehidupan sehari-hari. Misalnya siapa yang telah dibai’at sebagai pemimpin dalam pengajian, maka dalam kehidupan di luar pengajian,
penghormatan dan ketaatan terhadap pemimpin tetap berlaku.
Tidak hanya itu, dalam interaksi antar kelompok maupun intra, dapat terjadi saling jodoh-menjodohkan. Bukan dalam bentuk pacaran sebagaimana umumnya, namun benar-benar untuk menjodohkan menjadi pasangan yang siap dinikahkan. Meski terdapat pula aturan kelompok yang lentur, bahkan bisa saja bubar setelah lulus; persaudaraan yang dijalin telah menjadi ikatan yang kuat, karena internalisasi nilai yang pertama adalah memang mempersaudarakan sesama ikhwan (sebutan untuk pria) dan akhwat (sebutan untuk wanita).
Gerakan da’wah kampus semakin subur manakala berlangsungnya perjuangan melawan pendudukan Uni Soviet (sekarang Rusia) di Afghanistan. Banyak penggalangan dana, seminar, bahkan perekrutan sukarelawan, untuk mendukung perjuangan kaum Mujahidin Afghanistan. Berikutnya, tatkala terjadi konflik di Yugoslavia, dimana terjadi pembantaian di Bosnia tahun 90-an, terjadi penggalangan dukungan secara meluas hingga masyarakat luar kampus. Mulai saat itu pula dibenarkan sikap “siap dan waspada menghadapi tipu-muslihat orang nasrani dan Yahudi”.
Alasannya, kemalangan umat Islam di Bosnia adalah karena mereka selama ini lemah dalam keimanan Islam dan terlalu percaya kepada orang-orang Nasrani dan Yahudi yang menjadi tetangga, sahabat, ataupun saudara mereka. Meski dalam suatu seminar di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki yang pernah saya hadiri, dimana mufti Bosnia yang waktu itu hadir menjadi nara sumber, menyatakan bahwa sesungguhnya di Bosnia yang terjadi adalah konflik politik antar etnis, bukan perang agama. Namun tetap saja, gaung yang bergema adalah perlunya pembentukan kekuatan Islam, khususnya dibidang militer untuk membantu sesama umat Islam yang sedang tertimpa serangan oleh kekuatan non Islam.
Pembentukan kekuatan Islam lebih lanjut diterjemahkan dengan “pembentukan militansi Islam secara fisik” oleh karena adanya perlawanan Intifadah di Palestina. Timbulnya gerakan Hamas, telah menjadi contoh bagaimana mewujudkan militansi tersebut. Sesungguhnya pula gerakan Hamas adalah panutan gerakan muda Islam di Indonesia, khususnya di masa reformasi. Meski terbatas di perkotaan dan mulanya hanya dilakukan oleh para mantan aktivis kelompok da’wah kampus, namun selanjutnya berkembang luas di masyarakat dalam berbagai bentuk. Mulai dari organisasi sosial maupun politik, lembaga swadaya masyarakat, kelompok penekan, badan usaha, pelayanan kesehatan, lembaga pendidikan, bahkan kepengurusan di dewan kesejahteraan masjid/mushallah, pembinaan ekskul rohani Islam di SMP dan SMA.
Jika demikian, pertanyaannya “apakah pengaruhnya hal-hal di atas terhadap pembentukan pola pikir seseorang sehingga mudah menjadi pengikut, bahkan cenderung menjadi radikal dan pada akhirnya menjadi seorang teroris ?”
PEMBAHASAN
Saya pernah mendapat wejangan yang berharga dari seseorang berasal dari suku Minang. Awalnya saya pernah ditanya, untuk apa saya harus belajar dan bersekolah ? Jawab saya adalah untuk menjadi “orang yang tahu”. Lalu beliau bertanya lagi, sesudah itu untuk menjadi apa ? Jawab saya lagi adalah untuk menjadi pintar dan berguna bagi agama, nusa, dan bangsa. Seketika itu pula beliau tersenyum dan mengatakan bahwa menurut petuah orang Minang bahwa ada beberapa tingkatan kepintaran seorang manusia. Yaitu : tahu, pintar, pandai, cerdas, dan arif bijaksana.
Setelah saya renungkan, ternyata benar wejangan tersebut. Seseorang belum bisa dikatakan pintar, pandai, ataupun cerdas, bila hanya baru tahu saja. Seseorang yang dikatakan pintar, pandai, dan cerdas, belumlah menjadi orang pintar, pandai, dan cerdas yang sesungguhnya sebelum benar-benar menjadi orang yang dikatakan sebagai “arif bijaksana”.
Artinya dalam menjawab pertanyaan di atas, jika seseorang baru tahu satu atau dua ayat ataupun dalil meskipun dari Al Qur’an dan Hadist, namun belumlah dikatakan ahli agama. Jikapun dikatakan bahwa orang itu benar-benar sudah ahli ilmu agama, apalagi pernah bertahun-tahun tinggal dan belajar di Mekkah, namun belumlah ada artinya jika tidak sebagai orang yang arif bijaksana.
Sesungguhnya pula Rasulullah SAW adalah seorang yang arif bijaksana. Padahal beliau adalah seorang yang buta huruf, namun seorang buta huruf ataupun bukan lulusan sarjana, tidak berarti lebih bodoh daripada orang yang lulusan sarjana apalagi pasca sarjana. Kini, apa saja hikmah pelajaran pada diri dan kehidupan Rasulullah SAW yang menyebabkan berhasil menjadi seorang yang tercantum namanya sebagai urutan pertama yang berhasil mengubah sejarah peradaban dunia ?
Pertama, adalah ahlak ataupun budi pekerti yang luhur. Sejak kecil beliau telah dijuluki sebagai “Al Amin”, artinya orang yang dapat dipercaya. Julukan tersebut diberikan oleh para tokoh Quraisy (yang kemudian banyak yang menjadi musuh-musuhnya) oleh karena kekaguman atas kejujuran, keadilan, dan kepercayaan diri yang besar untuk menyelesaikan masalah. Masalah yang berawal dari dibangunnya kembali Ka’bah setelah hancur oleh peristiwa banjir yang pernah melanda kota Mekkah. Ketika tahap akhir pemasangan batu penutup terakhir bangunan Ka’bah itulah masalah dimulai, yaitu menentukan siapa yang paling berhak melakukannya.
Masing-masing kepala suku Quraisy merasa paling berhak. Namun setelah suasana memanas, diajukan usulan bahwa yang berhak menempatkan batu itu adalah orang yang pertama kali memasuki Masjidil Haram ke esokan paginya. Ternyata Rasulullah adalah orang yang pertama kali memasuki Masjidil Haram. Namun, meskipun beliau masih muda, yang memungkinkan memiliki ambisi besar untuk mendapatkan peluang sebagai orang yang terhormat dikalangan kaum Quraisy, beliau malah mengambil pilihan sikap yang sangat cerdas. Yaitu membuka sorbannya dan meletakkan batu itu di tengah-tengahnya. Kemudian, masing-masing ujung dan pinggir sorban diminta untuk dipegang oleh masing-masing kepala suku yang selanjutnya bersama-sama beliau membawa batu itu ke dekat Ka’bah. Setelah itu, baru beliau sendirilah yang meletakkan batu itu pada tempat yang dikehendaki.
Oleh karena adanya pribadi yang dapat dipercaya itu pula, Rasulullah mudah mendapat pengikut orang yang mau beriman. Tidak hanya itu, meskipun mendapat tentangan yang sangat keras bahkan diperangi, para pemimpin Quraisy tetap tidak bisa mengingkari kepribadian Rasulullah yang sejati. Begitu pula para pemimpin negara yang dikirimi surat oleh Rasulullah, setelah mengetahui bagaimana pribadinya, tidak ada satupun yang menyepelekan.
Padahal selama memperjuangkan syi’ar Islam di Makkah dan Madinah, tidak sedikit halangan dan ujian yang diterima Rasulullah. Masa kecilnya yang yatim piatu tidak menjadikan beliau sebagai orang yang lemah dan selalu meminta belas kasihan orang lain. Diterimanya wahyu yang menjadikan beliau sebagai Rasul terakhir, tidak pula menjadikan beliau sebagai orang yang sombong karena telah dipilih secara khusus oleh Allah SWT.
Banyak lagi pelajaran yang dapat dipetik dari kehidupan Rasulullah. Telah banyak pula para ahli yang mengulasnya. Namun pelajaran yang terpenting adalah, bahwa meskipun kekerasan menghiasi sepanjang hidupnya, Rasulullah tetaplah sebagai seorang yang lembut, pemaaf, dan arif bijaksana. Lalu, apa sesungguhnya yang menjadi inti dari pribadi beliau ? Ulasannya menjadi poin kedua.
Kedua, dari ahlak Rasulullah SAW, kita menemukan bahwa terdapat setidaknya lima kemampuan mendasar pembelajaran menjadi manusia yang berkarakter. Kemampuan dasar itu tumbuh seiring pertambahan usia dan terus berkembang, berubah, sekaligus bertahan hingga kemudian menjatidiri. Kelima kemampuan tersebut, tiga yang pertama berasal dari dalam kehidupan diri sendiri dan yang dua terakhir berasal dari luar. Sebagai berikut :
Faktor dari dalam :
1. Kemampuan mencerna masalah (berpikir kritis analitis dan logis sistematis)
2. Kemampuan beradaptasi dengan lingkungan baru dan tantangan baru,
3. Kemampuan bersaing dan bertahan secara positif dan kreatif.
Faktor dari luar :
1. Adanya bimbingan dan pembelajaran dari orang terdekat (ibu, saudara, guru, teman, dll)
2. Adanya pengalaman dan pengetahuan yang diperoleh baik karena adanya peristiwa luar biasa yang bisa berupa gejala alam, penemuan, maupun kesalahan manusia yang terjadi secara tiba-tiba.
Berkaitan dengan permasalahan, maka akan menjadi poin ketiga dari ulasan di atas.
Ketiga, bahwa fakta menunjukkan bahwa seringkali kekerasan akan melahirkan kekerasan. Seorang yang bukan korban, akan mudah menjadi pelaku bila terlalu bersimpati kepada sesama yang menjadi korban. Pemberitaan yang berlebihan dan terus-menerus akan menjadi pemicu tindak kekerasan berikutnya. Gerakan radikal seakan mendapat pembenaran.
Berkibarnya gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir adalah lebih karena adanya tindak kekerasan dari pemerintah Mesir kepada para tokoh Ikhwanul Muslimin, yang pada akhirnya menimbulkan gelombang besar simpati dan empati kepada orang-orang dan juga gerakan Ikhwanul Muslimin. Selanjutnya penyebar luasan propaganda perjuangan gerakan tersebut ke seluruh penjuru dunia Islam semakin memperkokoh kewibawaan Ikhwanul Muslimin.
Pola yang sama terulang untuk Palestina (khususnya Hamas), Afghanistan, Irak, nanti menyusul Iran. Untuk Indonesia, konflik Ambon dan Poso sudah sangat jelas menunjukkan tali temali rangkaian radikalisme sekelompok orang yang mengatas namakan umat Islam. Ketidak berdayaan masyarakat kelas bawah atas kemiskinan dan kebodohan lebih sering dimanfaatkan sebagai alasan, bukan sebagai subyek untuk diberdayakan. Lebih berat lagi, kelemahan pribadi seseorang lebih diutamakan untuk dididik sebagai kader, daripada sebagai sumber daya manusia yang potensial.
Kemampuan Mencerna Masalah
Namun bagi Rasulullah, kekerasan tidak merubah karakter dari orang yang dapat dipercaya, menjadi seorang yang radikal. Karena, pertama : Rasulullah dapat mencerna dengan berfikir positif semua peristiwa dalam hidupnya. Daya kritis analitis Rasulullah pula yang membuat beliau beralih mengasingkan diri dan merenung di gua Hira. Dan seketika menjalankan tugas kenabian dan perjuangannya, beliau dapat mengkomunikasikannya secara jelas, logis, dan sistematis, meskipun dalam bahasa yang sederhana untuk orang awam sekalipun. Tanpa ada kesan menggurui, mengancam, ataupun menghukum. Bahkan seringkali penuh humor, pelajaran kisah dari para nabi sebelumnya, dan masih banyak metode yang lain yang bersifat mencerahkan.
Perbandingannya, dalam sistem halaqah/mentoring, yang dilakukan lebih banyak bersifat dogmatis, indoktrinasi, dan eksklusivisme. Kemutlakan untuk menaati sistem dan juga imam adalah suatu hal yang tidak boleh dikesampingkan. Memang, para anggota tidak merasa ada kesan demikian, namun itu karena mereka lebih banyak bersikap pasif. Mungkin karena merasa perlu banyak belajar ataupun takut melakukan hal yang tidak patut. Akibatnya, seakan telah diberi kacamata kuda, semua yang diterima ditelan habis. Semua yang diluar itu dianggap sebagai di luar ajaran Islam. Lebih parah lagi disebut ajaran Thagut (menyembah berhala).
Ada suatu pengalaman ketika saya mengajar di salah satu SMA Negeri di Cengkareng – Jakarta Barat tahun 1999 - 2000). Dimana sekitar sepuluh orang anak murid saya pernah mengikuti pengajian di luar sekolah. Dari kesepuluh orang itu, lima diantaranya menjadi pengikut. Lima yang lain, keluar. Dari yang keluar itu saya tanyakan tentang pengajian tersebut, ternyata mulanya mereka tertarik karena para mentornya cantik dan ganteng. Kemudian suasananya juga bukan seperti pengajian pada umumnya. Tetapi lama kelamaan, setelah berkali-kali mengikuti, ajarannya mulai macam-macam.
Salah satu diantaranya adalah bahwa kelompok pengajian itu adalah yang sebenar-benarnya Islam. Walaupun orangtua sendiri, kalau belum menjadi anggota pengajian, maka belum disebut sebagai orang Islam. Oleh karena itu boleh melawan orang tua bila orangtua mereka melarang mereka untuk mengikuti pengajian. Kalau perlu jika diusir mereka dapat pergi dari rumah dan tidak kembali lagi. Parahnya lagi, bila belum menyerahkan sejumlah uang, maka mereka belum bisa disebut bersih dari dosa. Untuk mendapatkan uang pembersihan dosa itu, mereka dihalalkan memakai uang SPP, mencuri dari orangtua (apabila tidak diberi).
Dan salah seorang yang keluar, adalah anak yang kritis dan berani banyak bertanya kepada para mentor pengajian tersebut. Dikatakan juga bahwa pengajian itu adalah miliknya kelompok orang-orang NII (Negara Islam Indonesia). Dari yang saya ketahui juga bahwa kelima murid yang menjadi pengikut adalah anak-anak yang penurut, pendiam, dan biasa saja di kelas. Hanya satu yang saya anggap lumayan kritis dan pandai. Tapi itupun dalam suatu perdebatan dengan saya, pola pikirnya telah berubah drastis, begitu sangat meyakini ajaran yang telah diterimanya dan tidak menerima sama sekali bantahan dari saya.
Padahal dari penelusuran ke rumah-rumah mereka, saya mendapati kesemuanya berasal dari keluarga yang cukup baik, ekonominya juga tidak parah sekali, bahkan ada yang baik. Latar keluarga tidak ada pengaruhnya. Hanya karena lingkunganlah dimana mereka menemukan dan mempelajari sesuatu yang baru tanpa mencerna lagi, akibatnya kesemuanya dianggap hanya hitam-putih. Putih bagi kelompoknya dan hitam untuk diluar itu.
Kemampuan beradaptasi dengan lingkungan baru dan tantangan baru
Selanjutnya kedua, daya cerna saja belumlah cukup. Masih diperlukan daya adaptif. Seringkali seorang yang berubah menjadi radikal adalah karena dirinya merasa dikalahkan oleh sesuatu yang tidak dikuasainya. Atau dapat pula berkembang merasa bahwa dirinya haruslah menjadi seorang pahlawan yang akan mengalahkan para musuh yang membuat buruk keadaan. Perasaan seperti itu disebut juga “Waham Kebesaran”. Anehnya bukan dengan mempelajari sesuatu yang baru, melainkan memerangi dengan mengatasnamakan sesuatu. Dan yang paling ampuh adalah atas nama agama.
Seorang yang mengidap penyakit kepribadian seperti di atas, memang berawal dari kondisi dari dalam yang serba terbatas. Jika ditambah dengan kondisi lingkungan (luar) yang juga terbatas, sedangkan yang berlangsung sehari-hari adalah sesuatu yang serba baru, lebih hebat dari yang ada, lebih bernilai, dan menguasai semua segi kehidupan; namun disisi lain yang dimiliki kalah, tidak ada apa-apanya, bahkan hanya sisa-sisa. Maka pertahanan diri yang terakhir setelah sikap menyerah dan pasrah, adalah melakukan perlawanan. Jika sudah demikian, siapapun dan betapapun lemahnya, akan berubah menjadi “messias” yang ditunggu-tunggu untuk menyelamatkan yang lain.
Osama bin Laden untuk sementara sekarang ini dianggap oleh sekelompok umat islam diidentikkan sebagai “juru selamat” karena berani menyerang Amerika. Dahulu Imam Khomeini dari Iran yang kemudian diteruskan oleh Ahmedinejad dalam bidang politik. Sebelumnya Imam Hasan Al Banna dan para tokoh Ikhwanul Muslimin yang lain telah dianggap sebagai pejuang Islam zaman modern. Bila para penentang itu “mati syahid” maka akan disambut sebagai “syuhada”. Kata “Jihad” pun menjadi simbol gerakan untuk menegaskan perlawanannya. Untuk Indonesia, mulai terbiasa pula kata “Jihad” dan “Mati Syahid” dipropagandakan sebagai identitas dalam bentuk yang baru, yaitu wujud ideal sebagai sahabat Palestina untuk melawan Amerika dan sekutunya.
Sampai disini, andaikata yang ditanamkan adalah semangat untuk merubah nasib dengan didasari rasionalitas, maka tentunya hasil yang diperoleh akan lebih mampu mengubah sejarah dunia dengan lebih baik. Namun yang dipilih adalah kekerasan dengan seribu satu alasan. Salah satu alasan itu adalah Islam sebagai agama Jihad dan Da’wah. Antara pembentukan tentara Islam dan pensyiaran Islam adalah tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Sekali lagi pembentukan tentara dan bukan pembentukan lembaga dana Islam dunia yang diperuntukkan membantu kehidupan sosial ekonomi para umatnya.
Kemampuan bersaing dan bertahan secara positif dan kreatif
Mengapa itu tidak dilakukan ? Barangkali daya saing yang menjadi kemampuan ketiga, tidak dimiliki meskipun pada diri para tokoh Islam dunia sekalipun. Sangat disayangkan, padahal kemampuan finansial dunia Islam sangatlah besar. Barangkali terlalu ketatnya ukuran “syari’ah” itu sendiri yang cenderung lebih bersifat tekstual dan dogmatis lah yang menjadi penyebabnya. Malangnya disisi lain, persaingan sudah sedemikian menguasai kehidupan dan meluas ke berbagai aspek. Oleh karena itu yang dibutuhkan adalah kemampuan menghadapi persaingan dan bertahan secara positif dan kreatif.
Sudah lama dikeluhkan bahwa kegiatan da’wah Islam menghadapi tantangan yang sangat berat. Tidak hanya dari keengganan umat Islam itu sendiri untuk memenuhi syari’at Islam dalam kehidupan sehari-hari secara kaffah, tetapi juga perkembangan teknologi yang semakin canggih dan melampaui batas wilayah manapun. Bila sudah demikian, ulama yang paling alim sekalipun akan mudah mengutuk semua kondisi yang dinilai telah mengancam Islam sebagai ajaran yang mutlak dipatuhi dalam kehidupan sehari-hari dan dalam segenap aspek kehidupan.
Yang paling mudah jadi tertuduh adalah para kaum yang disebut mungkar, karena tidak menjalankan perintah Allah, secara menyeluruh, sebagian, maupun tidak sama sekali. Jika sudah begitu, tuduhan dosa dan julukan penghuni neraka akan mudah dilekatkan kepada mereka. Bukannya mendekatkan, sebagian ulama malah menjauhi dan membuat jarak yang mengakibatkan semakin jauhnya kesenjangan antara umat dan ulama.
Seandainya, persaingan antara da’wah Islam dan kehidupan dunia disikapi secara positif dan kreatif, tentunya akan terjadi sebaliknya. Umat tidak lagi dimusuhi, melainkan dirangkul. Umat pun akan merasa hubungannya dengan ulama tidak sekedar formalitas atas dasar takut ataupun rendah diri, tetapi karena merasa disayang dan diperhatikan, seperti Rasulullah semasa hidupnya. Penyampaian da’wah juga tidak harus dipolakan sebagai suatu target yang bisa dipercepat, misalnya : menutup aurat untuk kaum wanita, tetapi bisa dipolakan dengan suatu dialog (tidak harus berupa seminar) dan kearifan sebagaimana misalnya yang dimiliki Wali Songo, khususnya : Sunan Kalijaga dan Sunan Bonang.
Para ulama bukanlah nabi, apalagi tuhan yang diberi kewenangan untuk menghakimi seseorang atas dosa-dosanya. Para ulama sesungguhnya adalah pengayom, menjadi teladan, dan pemimpin yang arif bijaksana. Para ulama tidak selalu harus mengeluarkan kata-kata atau ceramah ataupun fatwa yang merindingkan bulu kuduk. Melainkan dapat dan harus selalu berkata dengan lemah lembut, humoris, lebih banyak mendengar, dan tetap tegas. Tetapi bukan berarti para ulama harus menjadi seorang selebriti, pelawak, ataupun politisi. Tidak. Para ulama adalah pewaris sifat-sifat Rasulullah, dan bukan mewarisi wewenang Rasulullah. Namun sekarang, wewenang Rasulullah seakan dapat diwarisi, termasuk oleh sekelompok orang yang mengatas-namakan Islam untuk melakukan gerakan radikal, yang sebenarnya tidak lebih menunjukkan keputus-asaan menghadapi kondisi di luar dirinya.
Faktor Luar
Faktor luar sangatlah berpengaruh. Dalam sejarah, Rasulullah beruntung didampingi oleh orang-orang terbaik di kota Mekkah dimasa itu. Mereka adalah : Abu Thalib, SIti Khadijah, dan Abu Bakar Asshiddieq. Seandainya Rasulullah diasuh Abu Lahab, tentu lain ceritanya. Seandainya pula Rasulullah beristrikan Siti Aisyah lebih dulu, syiar Islam mungkin tidak akan sepesat itu. Juga seandainya yang menjadi sahabatnya bukanlah Abu Bakar, melainkan Abu Sofyan.
Dari Abu Thalib Rasulullah mendapat asuhan yang aman dan penuh kasih sayang. Bahkan dari saudara sepupunya, Ali bin Abi Thalib, Rasulullah mendapat teman seperjuangan sekaligus kader yang dapat diandalkan. Selanjutnya Ali lah yang menjadi penerus kepemimpinan Islam sebagai Khalifah keempat dari era Khulafaur Rosyidin. Pada diri Ali juga, pertautan dipererat dengan dinikahkannya Ali dengan putri Rasul yaitu Siti Fatimah. Pada akhirnya, cucu beliau dari Ali, Hasan dan Husein menjadi Imam dari Kaum Syi’ah, yaitu sekelompok umat Islam yang menjadi pengikut setia Ali dan keturunannya.
Melalui Siti Khadijah, Rasulullah tidak hanya mendapat seorang istri sebagai tempat yang dapat dipercaya untuk mencurahkan hati, tetapi juga sumber dana, dan lebih penting lagi adalah sumber ilmu. Selain itu Khadijah mempunyai saudara yang bernama Waraqah bin Naufal yang seorang ahli kitab Injil. Dari kedua orang inilah Rasulullah mendapat perbandingan keimanan dan sekaligus juga pembenaran yang menguatkan kenabiannya. Hanya dari Siti Khadijah pula, Rasulullah mendapat keturunan yang beranak-pinak.
Kemudian dari Abu Bakar, Rasulullah juga mendapat pengawalan setia, tangan kanan yang sangat kuat, dan kader utama setelah Rasulullah wafat yang ditunjuk menjadi Khalifah. Dari Abu Bakar, Rasulullah mendapat istri Siti Aisyah, yaitu putri beliau. Meski tidak memberikan keturunan, namun kepandaian Siti Aisyah mewariskan banyak hadist shahih. Siti Aisyah juga berperan banyak sebagai asbabun nuzulnya beberapa ayat Al Qur’an. Begitu pula dalam sejarah setelah Rasulullah wafat, Siti Aisyah tetap berperan, meski harus bertentangan dengan Khalifah Ali bin Abi Thalib.
Faktor luar sedemikian berperannya, hingga dapat merubah pola pikir seseorang 180⁰. Jika Rasulullah, cukuplah adanya wahyu pertama sebagai faktor penting dalam merubah diri beliau dari seseorang yang biasa menjadi seorang utusan Tuhan. Dalam cerita kehidupan manusia yang lain, misalnya peristiwa Tsunami di Aceh, dapat dianggap sebagai salah-satunya. Bagaimana peristiwa alam yang sedemikian dahsyat dan membawa akibat yang sangat mengerikan, ternyata membawa hikmah yang sangat besar. Untuk saat ini, mungkin adanya perdamaian antara pemerintah RI dengan GAM dan terpilihnya Irwandi Yusuf sebagai Gubernur Aceh, sudah sangat jelas menunjukkan hal itu.
Akan tetapi saya sangat yakin, dalam jangka panjang, rakyat Aceh akan memperoleh kejayaannya kembali, tetapi bukan dengan gerakan separatis bersenjata. Melainkan dengan budaya beradab, yaitu Aceh kembali menjadi pusat ilmu dan kebudayaan Islam, khususnya di Indonesia. Saya tidak dapat menjelaskan bagaimana prosesnya. Akan tetapi, sejak tsunami telah terjadi penyadaran dan pengendapan budaya perang di kalangan penduduk Aceh. Mereka kini lebih menatap ke masa depan. Bila menatap ke masa lalu berarti harus kembali melihat puing-puing sisa tsunami.
Tahun 2008, saya pernah ke Aceh. Melihat dengan mata kepala sendiri bekas-bekas kerusakan akibat tsunami. Tidak hanya itu, saya juga mulai merasakan denyut kehidupan baru penduduk Aceh untuk bangkit kembali sejajar dengan yang lain. Sebab, bukankah dunia juga telah berubah dan berkembang dengan pesat ? Apakah mereka mau tertinggal oleh kemajuan ? Tentunya tidak.
Hendaknya itu pula yang melandasi seluruh umat Islam. Apakah senantiasa melihat dan mengagungkan masa lalu seraya mengutuk semua yang menyebabkan sekarang tidak sama lagi dengan yang dulu ? Atau bahkan bermaksudnya dengan mengambil tindakan membabi buta ke segala arah, semata hendak mengembalikan semuanya seperti kejayaan Islam dulu ? Sesungguhnya pula kejayaan Islam masih tetap akan ada. Kiamat hanya Allah Yang Maha Tahu, dan jangan dijadikan alasan untuk bersikap radikal bahwasanya semuanya karena sudah menjelang kiamat.
Ingat, yang lain sudah pintar memanfaatkan angkasa luar. Umat Islam kapan ? Apakah masih akan terus merusak dan mencaci maki satu sama lain ? Masih ribut penentuan soal awal Ramadhan dan awal Syawal, jumlah raka’at Tarawih, saling mengklaim diri sebagai yang termasuk Ghuraba dengan segala sikap eksklusivismenya, dan sebagainya. Pantas saja, seseorang yang dikenal sebagai orang yang lemah lembut, lalu sekejap bisa berubah menjadi radikal, adalah karena orang-orang yang menjadi pendampingnya adalah orang yang berpikir sempit.
Mereka selalu menganggap tidak pernah baik masa depan, dunia luar sebagai sesuatu yang buruk, dan menyamakan diri dengan yang berbeda sebagai pengkhianatan, bahkan bisa disebut kafir. Menganggap musibah peperangan di Palestina adalah karena semata kebiadaban Israel, tanpa bisa mengevaluasi ke dalam diri negara-negara Arab yang mengelilingi Palestina, bahkan perpecahan dikalangan penduduk Palestina sendiri. Menilai Amerika sebagai musuh yang harus diperangi dimanapun berada, sekalipun di negara yang banyak penduduk muslimnya.
Memandang semua yang diluar diri dan kelompoknya adalah lawan, menentang ayat-ayat Qur’an, dan sebagainya. Amat mudah pula direduksi makna “kembali kepada Al Qur’an dan Hadist” sebagai suatu dogma yang mutlak dipatuhi. Maka setiap penafsiran yang berbeda akan mudah dicap sebagai ajaran sesat, sekalipun itu sebagai perbandingan. Sesungguhnya sikap demikian menghinggapi siapa saja, sekalipun itu seorang lulusan pasca sarjana dari perguruan tinggi sekuler, meski pada mulanya terlihat biasa dengan penampilan yang bersifat duniawi sekalipun, bisa berubah sekejap menjadi seorang yang apabila lelaki akan terlihat berjanggut, ada yang berkening tanda hitam, berbaju gamis dengan celana komprang sebatas betis. Bila perempuan terlihat berjilbab sangat lebar, berlapis, ada yang bercadar, dan serta merta ikhlas dipoligini.
Ilmu yang dipelajari dengan susah payah pun akan dianggap sebagai beban, karena bukan ilmu agama. Padahal dalam Al Qur’an semua ilmu ada, tidak hanya tentang akhirat. Waham merasa paling benar pun akan mudah merasuk, meski terkadang ada kontradiksi. Inginnya hati dan pikiran menjalankan “syari’at Islam” secara kaffah dengan sebenar-benarnya. Tetapi isi kantong dan asap dapur mendesak yang lain. Jadilah ketika sholat, berbicara, dan berpakaian seolah-olah telah Islami, tetapi karakter masih seorang bawahan yang butuh uang.
Jika sudah demikian, orang awam akan semakin kehilangan pegangan. Ada juga yang menjadi pengikut, ada juga yang malah masa bodoh. Islam telah jauh kehilangan keagungan dan kebenarannya. Keagungan dan kebenaran Islam justru terletak pada nilai humanismenya, nilai-nilai yang memandang manusia sebagai mahluk manusiawi, bukan malaikat ataupun iblis. Wewenang penilaian benar-salahnya seseorang adalah ditangan Tuhan, yaitu Allah SWT.
KESIMPULAN
Bagaimana sesungguhnya pola pikir seseorang bisa berkembang, berubah, lalu bertahan terhadap berbagai arus pemikiran yang berbeda, sejak masa kanak-kanak hingga dewasa, adalah didasari oleh suatu proses pembelajaran yang panjang. Kemampuan mencerna masalah, kemampuan beradaptasi dengan lingkungan baru dan tantangan baru, kemampuan bersaing dan bertahan secara positif dan kreatif, adanya orang terdekat yang berperan sebagai pembimbing, dan adanya suatu peristiwa yang datang secara tiba-tiba; merupakan faktor-faktor penting yang berperan menentukan hasil dari proses pembelajaran itu.
Dalam kasus tumbuhnya gerakan radikal yang mengatas namakan Islam dari sekelompok kecil umat Islam Indonesia, terlihat bahwa proses pembelajaran yang dilalui tidak menghasilkan amaliyah yang rahmatan lil’alamin. Melainkan kemudharatan dan kesia-siaan.
Sebagai perbandingannya adalah dengan melihat proses pembelajaran kehidupan yang dialami Rasulullah SAW. Sekalipun mengalami masa yang pahit dan penuh kekerasan, namun Rasulullah mengakhirinya dengan kesantunan dan pencerahan. Sehingga kejayaan Islam dapat diperoleh dan tersebar luas hingga ke seluruh penjuru dunia.
Bila umat Islam hendak memperoleh kejayaannya kembali, bisa dipilih alternatif dengan menguasai ilmu dan teknologi, melakukan ijtihad di segala bidang atas dasar pencerahan, melapangkan toleransi ke dalam setiap kelompok umat Islam sendiri juga di luar umat Islam, berpandangan ke depan tanpa harus terikat ke masa lalu, serta tetap menyiapkan strategi yang cerdas dalam suatu jalinan interaksi yang luas untuk menengahi ataupun menyelesaikan setiap konflik yang terjadi, baik internal maupun eksternal.
Dalam kaitan yang lain, secara umum pola pikir seseorang perkembangan dan perubahannya akan mempengaruhi keberhasilannya dalam mencapai kesuksesan hidup. Kelima kemampuan mendasar tetap harus dimiliki sebagai indikator berhasil tidaknya dalam menjalani proses pembelajaran yang dilaluinya sejak masa kanak-kanak hingga dewasa. Sebaliknya kesemuanya itu akan menunjukkan karakter yang sesungguhnya dari seseorang, apakah ia telah berhasil melewati masa kanak-kanaknya dan menjadi dewasa, ataukah tidak.
PENUTUP
Ulasan di atas memang teramat tajam, terlalu luas, dan kurang dilengkapi dengan literatur yang mendukung. Meski demikian, saya mendasari tulisan di atas atas berbagai bacaan yang pernah saya baca. Begitu pula pengalaman yang pernah saya alami. Semata pula saya menyajikan banyak hal karena memang berkenaan dengan pertanyaan yang mungkin disimpan di benak banyak orang, yaitu mengapa si A menjadi X, sedangkan si B tetap sebagai Y.
Demikian, semoga dapat menjadi bahan diskusi yang hangat. Terima kasih.
Bogor, 26 September 2009.