Sabtu, 29 Juni 2019

PENDIDIKAN BUKAN SEBAGAI KOMODITI POLITIK

Tidak ada guru yang sempurna. Bahkan untuk menghadapi era industri 4.0,. meski dengan segala teori metodologi pengajaran terbaru sekalipun, belum tentu bisa mencapai tujuan pembelajaran, bahkan oleh guru yang bersertifikasi internasional sekalipun. Guru dan para siswa adalah manusia yang hidup dengan pengalaman masing-masing. Yaitu lahir, besar, dan belajar tentang kehidupan, kemudian mengenal sekolah, hingga akhirnya dewasa, ditandai selembar kertas bernama ijazaha.


Namun siapa yang bisa mengira perjalanan hidup masing-masing, dari seorang anak didik yang polos dan ketika dewasa ternyata menjadi polisi atau tentara yang tegas dan berwibawa ? Mungkin juga dari seorang anak suka bolos bisa menjadi pengusaha sukses ? Seorang siswa yang rajin, pendiam, penggiat pengajian, ternyata tidak menjadi apa-apa ? Banyak lagi cerita perjalanan hidup seseorang yang tidak sesuai "ketentuan semestinya".

Oleh karena itu yang perlu dibekali dalam mengajar dan mendidik sebenarnya adalah sikap empati dan perduli terhadap anak didik. Meski sepele, keingin tahuan tentang segala macam dari anak didik, sangat membantu masa depan anak didik itu sendiri. Mendidik dan mengajar bertujuan mengembangkan potensi anak didik sesuai tujuan pembelajaran yang diharapkan. Namun bila tidak disertai pengamatan mentalitas dan kepribadian setiap anak didik, maka tujuan sebagus apapun akan berakhir kontra produktif.

Oleh karena itu tidak heran bila kualitas manusia Indonesia sekarang ini banyak yang mudah tertipu hoax, berdebat yang tidak perlu, mudah terprovokasi, pola pikir liar, termasuk berubah kepada sikap keagamaan yang eksklusif sekaligus radikal. Sementara disisi lain, perundungan, kekerasan, premanisme, pelecehan seksual, mungkin juga awal perubahan orientasi seksual, hingga yang sudah berlangsung lama yaitu menaikkan nilai agar sesuai KKM, semakin banyak terjadi di dunia pendidikan.Tidak meratanya kualitas sekolah dan juga guru, memang sering ditujukan sebagai penyebab utama. Namun bila keperdulian dan empati menjadi nilai dasar pendidikan, tentunya bisa diidentifikasi masalah mentalitas dan kepribadian anak didik sejak dini.

Kenapa ada anak didik yang semula ceria lalu seketika berubah pendiam, mengapa ketika kelas awal dia aktif namun di kelas selanjutnya dia malah tertutup, apa penyebab seorang anak didik menjadi nakal tidak terkendali padahal dari keluarga baik-baik. Beberapa kasus lain : bagaimana mendisiplinkan satu kelas yang sangat tidak kondusif untuk belajar, baik karena suka berisik, kelas kotor banyak sampah di kolong meja, atau para siswanya pasif dan statis, dalam kesenyapan tidak ada gairah untuk belajar.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar